Searching...

Hidroponik Air Mancur




Desain unik gabungan hidroponik dan vertikultur.

Inspirasi itu datang tiba-tiba ketika Kunto Herwibowo di dalam bus kota di Jalan Thamrin, Jakarta. Tepat di Bundaran Hotel Indonesia (HI) ia melihat air mancur mengucur deras, dari tengah lingkaran menuju segala penjuru. Air mancur di kolam bergaris tengah 100 meter itu menginspirasi Kunto untuk membuat hidroponik baru. Eureka! Sebuah desain baru memadukan teknik hidroponik dan vertikultur lahir.

Bersama rekan, Ahmad Fa’i dan Ye’en, Kunto memadupadankan pipa-pipa polivinil klorida (PVC) sebagai wadah tanaman. Uniknya, pipa PVC tidak diletakkan secara horizontal seperti pada hidroponik umumnya, tetapi vertikal. Kemudian Kunto menyambung pipa PVC itu dengan drum berkapasitas 50 liter di bagian bawah. Di tengah pipa, ayah 3 anak itu meletakkan pipa kecil berdiameter 3,4 cm yang berfungsi sebagai penghantar air.

 Hemat lahan

Desain baru itu mengombinasikan cara bertanam sayuran secara hidroponik dan vertikultur. Singkatnya disebut model hidroponik vertikultur. “Prinsip kerjanya (hidroponik vertikultur, red) seperti air mancur,” ujar Kunto. Pompa di dalam drum akan memompa larutan nutrisi melalui pipa kecil dari drum hingga pipa bagian atas. Sesampai di puncak, air memancar dan berpencar ke bawah. Pancuran air itu akan mengenai akar tanaman sehingga dapat diserap untuk pertumbuhan tanaman.

Selain itu desain hidroponik vertikultur itu sangat efisien dalam penggunaan lahan. Di lahan seluas 30 cm x 30 cm Kunto dapat menanam 48 sayuran. Bandingkan dengan hidroponik biasa dengan talang horizontal yang membutuhkan lahan 2 m x 1 m untuk menanam sayuran dengan jumlah sama. Menurut Dr Ir Anas Dinurrohman Susila MSi, anggota staf pengajar Departemen Agronomi dan Hortikultura, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor, vertikultur atau vertical culture menjadi solusi bagi keterbatasan tempat. “Dengan vertikultur, halaman rumah yang sempit pun bisa produktif menghasilkan sayuran,” ujar Anas.

Kelebihan lain hidroponik vertikal adalah hemat nutrisi. Kunto mengisi drum dengan larutan nutrisi sebanyak 30 liter. “Itu untuk memenuhi kebutuhan nutrisi tanaman selama dua bulan,” katanya. Desain pipa dan drum tertutup sehingga air hujan tidak bisa masuk. Dengan begitu larutan nutrisi aman dari kontaminasi air hujan. Air hujan yang merembas masuk ke pipa akan mengurangi elektro conductivity (EC) larutan nutrisi. Jika itu terjadi, pertumbuhan tanaman terganggu, seperti kerdil bahkan mati.

Dengan gaya gravitasi, air yang dipompa ke atas akan jatuh, mengalir ke ke bawah. Itu membuat kandungan oksigen dalam air meningkat. “Akar tanaman membutuhkan oksigen untuk pertumbuhan. Jika kebutuhan oksigen terpenuhi maka akar menyerap nutrisi lebih banyak,” kata pakar hidroponik di Jakarta, Ir Yos Sutiyoso. Hasilnya, panen selada pun lebih cepat 1—2 hari dibanding hidroponik talang horizontal. Pehobi senang karena lebih cepat mendapat sayuran segar. “Biasanya untuk masak sehari-hari atau dijual di lingkungan sekitar,” ujar Kunto.

Pipa bertingkat

Teknik hidroponik vertikultur ala Kunto mengingatkan pada teknik serupa yang diterapkan Frank Fendler (baca Trubus edisi Januari 2014 hal 24—25). Pehidroponik di Philadelphia, negara bagian Pennsylvania, Amerika Serikat, itu menerapkan teknik hidroponik vertikal di greenhouse 3.000 m2. Ia menanam selada boston menggunakan 140 pipa vertikultur berisi 64 tanaman. Bedanya pada sistem pengairan. Air mengandung nutrisi mengalir dari pipa di luar pipa tanam, ke dalam. Di dalam pipa tanam, air mengalir dari atas ke bawah mengenai akar tanaman. Frank menerapkan teknik ala Kunto pada penanaman tomat dan kol.


Selain Kunto, Bertha Suranto di Jakarta Timur juga membuat hidroponik secara vertikultur. Bedanya, Bertha melakukan hidroponik biasa—dengan pipa PVC di letakkan secara horizontal—tetapi pipa disusun secara bertingkat. Cara penanaman seperti itu juga efektif dalam penghematan lahan. Bertha membuat model hidroponik bertingkat 3 setinggi 1,5 meter. Jarak antartingkat 10—30 cm. Ibu tiga anak itu menyusun 6 buah pipa PVC berdiameter 4 cm sepanjang 1,5 m secara horizontal.
Di setiap pipa terdapat 9 lubang dengan jarak antarlubang 15 cm. Lubang-lubang itulah yang menjadi tempat meletakkan “pot” untuk menanam caisim, pakchoy, dan selada. Keenam pipa itu terhubung satu sama lain dengan pipa pengalir nutrisi. Sementara di bagian atas terdapat atap plastik yang berfungsi sebagai penaung. Bertha menyiapkan kontainer berukuran 60 cm x 40 cm x 40 cm di bagian bawah sebagai tandon penampung nutrisi dan pompa air. Pompa air itulah yang bertugas mengalirkan nutrisi dari tandon ke pipa teratas. Bertha menyusun pipa dengan kemiringan 150 sehingga air mampu mengalir ke pipa di bawahnya. Air nutrisi lalu masuk ke tandon untuk didinginkan dan dialirkan kembali.
 

Menurut Bertha, hidroponik cocok bagi pehobi yang senang bercocok tanam tapi enggan bersentuhan dengan tanah. “Saya bisa menanam, memupuk, merawat, dan memanen tanaman tanpa harus belepotan tanah,” katanya. Pehidroponik di Jakarta Timur itu hobi berkebun, tapi takut cacing yang notabene menjadi penyubur lahan. Dengan mengadopsi teknologi hidroponik, hambatan itu tersingkir. Sebab, teknologi itu memang tanpa tanah, tetapi memanfaatkan air atau media nontanah. Kini dengan dibuat vertikal, hidroponik kian cocok untuk lahan sempit.

Cocok bagi pehobi

Meski efisien lahan, budidaya hidroponik vertikultur bukan berarti tanpa aral. Menurut Yos Sutiyoso, hidroponik vertikultur rawan gagal lantaran air tidak mengenai akar tanaman. Beberapa model hidroponik vertikultur menggunakan pipa berbentuk huruf L sebagai tempat menanam selada. Desain itu menyebabkan air yang mengucur dari atas pipa sulit menjangkau akar. Akibatnya, tanaman tidak mendapat nutrisi yang dibutuhkan untuk pertumbuhan.

Untuk menyiasati hal itu, Kunto menyambung pipa luar dengan pipa kecil berdiameter 5 cm dengan sudut kemiringan tertentu. Pipa kecil berperan sebagai tempat meletakkan sayuran. Pehidroponik di Pamulang, Tangerang itu menggunakan pipa PVC berdiameter 12,7 cm dan panjang 1,7 m sebagai pipa luar. Ia lalu membuat 48 lubang berdiameter 5 cm yang terbagi di 4 sisi pipa. Kedua pipa itu kemudian disambung dengan sudut 300. Dengan posisi seperti itu, akar tanaman menggantung di dalam pipa sehingga mudah terkena larutan nutrisi. “Ini desain terbaru,” ujar Kunto.

Menurut Yos model hidroponik seperti yang Kunto lakukan cocok bagi pehobi, tapi tidak cocok untuk pekebun komersial. Musababnya model itu sangat tergantung pada listrik. “Listrik harus siap 24 jam,” kata Yos. Pasalnya, tanaman terancam mati jika listrik padam selama 1—2 jam. Bandingkan dengan teknik nutrient film technique (NFT). “Tanaman masih bisa bertahan 2—3 jam,” kata Bertha.

Tak heran Kunto menyediakan gayung di sekitar tanaman. Jika listrik mati lebih dari 1 jam, ia bergegas membuka tutup pipa dan mengguyur akar tanaman dari atas. Kunto mengguyur akar dengan 2 gayung berisi nutrisi setiap 15 menit sekali hingga listrik hidup. Kalau hanya memiliki satu atau 2 pipa hidroponik vertikal kegiatan mengguyur tanaman mungkin tak merepotkan. Namun, untuk skala komersial hal itu jelas tidak efektif. Belum lagi kebutuhan listrik yang tinggi.

Satu model pipa membutuhkan pompa berkapasitas 35 watt. Jika pekebun memiliki 100 pipa, maka butuh listrik hingga 3.500 watt. Bandingkan dengan kebun hidroponik komersial yang hanya membutuhkan pompa berkekuatan 1 PK atau sekitar 750 watt untuk mengairi lahan seluas 1.000m2. Frank Fendler mengatasi kebutuhan listrik dengan memasang panel surya. Dengan hidroponik vertikultur, keterbatasan lahan bisa diatasi. Pekebun pun bisa memanen sayuran meski hanya punya sepetak lahan. (Kartika Restu Susilo)



Sumber: Trubus-online

Hidroponik Medan
Jl. Karya Jaya Gg.Abadi No.7 Pangkalan Mansur, Medan Johor, Medan - Sumut
HP/SMS/Whatsapp/LINE: 0813 6129 1195
PIN BBM : 75FC6826
Email : agoenk.fattahillah@gmail.com



 
Back to top!